PEMBATASAN KEKUASAAN PEMERINTAH
DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Ahmad yulda
Abstrak:
Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah
pada hakekatnya adalah sarana untuk menjalankan fungsi pelayanan dan
kesejahteraan bagi masyarakat. Namun kekuasaan yang tidak terkontrol, justru
akan mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itulah diperlukan upaya
pemberdayaan demos (masyarakat), karena sesungguhnya masyarakatlah yang
berdaulat, sedang pemerintah hanya sekedar menjalankan amanat rakyat. Demos
yang berdaya pada suatu negara, sekaligus akan mencerminkan bahwa negara
tersebut menganut prinsip supremasi hukum dan menjunjung tinggi cita-cita
demokrasi.
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya
mengandung ajaran executive heavy (Indra : tt), dimana lembaga eksekutif
diberikan peranan dominan sebagai penyelenggara negara. Hal ini terbaca secara eksplisit pada
penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara RI, yang salah satu
butirnya menyatakan sebagai berikut :
“Presiden adalah penyelenggara pemerintahan
yang tertinggi dibawah majelis”.
Meskipun
kedudukan Presiden (sebagai kepala eksekutif) sejajar atau neben dengan
lembaga tinggi negara lainnya (DPR, DPA, MA, BPK), namun kekuasaan riil untuk
membentuk serta mengimplementasikan segala kebijakan yang berhubungan langsung
dengan masyarakat, berada dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Presiden. Dasar legalitas inilah yang barangkali
menyebabkan kekuasaan terakumulasi pada satu titik. Namun sebenarnya
kecenderungan akumulasi kekuasaan pada satu titik ini telah diantisipasi oleh
UUD 1945 dengan memberikan kedudukan yang kuat kepada DPR sebagai lembaga
kontrol. Hanya masalahnya adalah, DPR tidak mampu menjalankan fungsinya secara
efektif karena adanya “ranjau-ranjau” yang diciptakan oleh eksekutif, sehingga
muncullah kondisi dimana legislatif dikooptasi oleh eksekutif.
Ranjau-ranjau ini misalnya dalam bentuk
tata tertib dewan yang ketat dan kaku, mekanisme recall atau pergantian
antar waktu, penyumbatan saluran aspirasi rakyat, penafsiran terhadap pasal 2
dan 6 UUD 1945 yang menguntungkan pemerintah, paket UU Politik yang kurang
demokratis, dan sebagainya.
Dalam konteks reformasi sistem pemerintahan secara total, kekuasaan presiden perlu lebih dibatasi melalui pengawasan sosial yang ketat, sekaligus perlu dihilangkan rambu-rambu yang menyebabkan proses pengawasan menjadi tersendat.
Konsep Kekuasaan dan Pembatasan Kekuasaan
Secara umum dapat dikatakan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku
itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu
(Budiardjo, 1993 : 35). Inilah “kesepakatan umum” mengenai makna dan definisi
kekuasaan, yang dikembangkan dari rumusan Laswell dan Kaplan dalam karya mereka
yang berjudul Power and Society (Yale UP, 1950). Meskipun demikian,
diantara para pemikir politik tetap terdapat sedikit perbedaan titik pandang
atau penekanan (stressing), terutama dalam hal konteks dimana kekuasaan itu
berlaku, atau siapa yang memegang dan menjalankan kekuasaan itu.
Dalam konteks ini, konsep tentang
kekuasaan politik merujuk kepada kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan
umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan
tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik ini merupakan
sebagiandari
kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai pihak yang
berhak mengendalikan tingkah laku masyarakat dengan paksaan.
Oleh karenanya, cakupan kekuasaan politik tidak
hanya meliputi ketaatan dari masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian
orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di
bidang administratif, legislatif dan yudikatif (Budiardjo, 1993 : 37).
Secara lebih lengkap, beberapa pengertian lain dari
kekuasaan yang diungkapkan para ahli politik, sebagaimana diinventarisir oleh
Budiardjo (1994 : 92-94) antara lain sebagai berikut :
a.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam hubungan sosial, melaksanakan kemauan
sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemauan ini (Max
Weber, Wirtschaft und Gesselschaft, 1992).
b.
Kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak
dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama (van
Doorn, Sociologische Begrippen en Problemen rond het Verschijnsel Macht,
1957).
c.
Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku untuk menetapkan secara mutlak atau
mengubah (seluruhnya atau sebagian) alternatif-alternatif bertindak atau
memilih, yang tersedia bagi pelaku-pelaku lain (Mokken, Power and Influence
as Political Phenomena, 1976).
d.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu
sistem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat.
Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif, dan jika ada
perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar --
terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu (Talcott Parsons, The
Distribution of Power in America Society, 1957).
Dalam setiap kajian mengenai konsep kekuasaan,
terdapat suatu fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi
sikap dan tingkah laku orang lain seringkali tidak disertai dengan kewibawaan,
sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang seringtidak dilandasi oleh
kesadaran secara suka rela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau
alat-alat kekuasaan. Selanjutnya, jika pembahasan telah memasuki dimensi
ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau
kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang authority (otoritas,
kewenangan) dan legitimacy (keabsahan), dua konsep yang tidak pernah
bisa dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Otoritas atau wewenang sendiri menurut Robert
Bierstedt dalam karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah
kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Pengertian ini
bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan bahwa
wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya
hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta dimilikinya
hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.
Sedangkan beberapa pengertian legitimasi atau
keabsahan seperti yang dikumpulkan oleh Budiardjo (1994 : 90-91), dapat
dikemukakan sebagai berikut :
a.
Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada
pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.
b.
Legitimasi adalah the conviction on the part of the member that it is right
and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by the
requirements of the regime (David Easton, System Analysis of Political
Life, 1965).
c.
Legitimasi mencakup the capacity to produce and maintain a belief, that the
existing political institutions or forms are the most appropriate for the
society (Seymour Martin Lipset, Political Man : The Social Basis of
Politics, 1969).
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, mengapa
seseorang atau suatu kelompok memiliki wewenang yang lebih besar dan mampu
memaksa orang atau kelompok lain untuk tunduk dan taat kepadanya, serta dari
mana orang atau kelompok tadi memperoleh landasan legitimasi untuk melaksanakan
kekuasaannya ? Untuk menjawab pertanyaan ini, mau tidak mau harus dikembalikan
kepada teori tentang sumber-sumber kekuasaan serta cara mendapatkan kekuasaan.
Khususnya mengenai sumber-sumber kekuasaan, hal ini
tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan di dunia yang menunjukkan
suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari
yang non-demokratis kepada yang demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya
abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan (medium aevum) bagi
kebudayaan global terutama di Eropa, dalam Ilmu Negara muncul pemikiran tentang
Kedaulatan Tuhan.
Ajaran yang sangat identik dengan teori Kedaulatan
Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan
kepada raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan raja adalah bebas, tidak terbatas dan
tidak terikat, karena memang raja hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Tuhan.
Dengan demikian maka setiap kehendak dan perintah raja dianggap sebagai
perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Meskipun demikian, ajaran ini mengandung kelemahan,
yaitu ketika raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi
dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Saat itulah saat dimana semua
yang dimilikinya langsung berpindah kepada raja baru yang menggantikannya.
Dari sini muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara
yang berpendapat bahwa negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala
negara, dan bukan sebaliknya (Prodjodikoro, 1981 : 37). Akan tetapi, ajaran
inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau
pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur
(yaitu hukum) ?
Dalam hubungan ini, Krabbe dan Duguit menyatakan
bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) atau
keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat.
Dan hukum itu sendiri -- menurut von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia,
melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum dari
ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan
perkembangan hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran
demikian, ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan
Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat
dilihat terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu
diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang
banyak. Dengan kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala
negara semakin diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi
berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan secara ekstrim.
Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan
kekuasaan oleh hukum, namun peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum
begitu menonjol. Oleh sebab itu, muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat
yang masih berlaku hingga sekarang. Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques
Rousseau dan John Locke ini menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang
tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan
pemerintahan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu
tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan.
Bahkan jika dipandang perlu, rakyat bisa menarik
atau mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau
sekelompok orang tadi. Sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan
perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut.
Inilah yang dimaksud Rousseau dengan istilah du contract social (perjanjian
masyarakat).
Dari kilasan sejarah teori kedaulatan diatas,
nampaklah bahwa sumber-sumber kekuasaan yang dikenal selama ini terdiri dari 4
(empat) sumber, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh atau bersumber dari Tuhan,
Negara, Hukum dan Rakyat. Adapun cara-cara memperoleh kekuasaan, seperti
dikemukakan oleh Syafiie (1996 : 54-58), terdiri dari 7 (tujuh) macam cara.
Legitimate power adalah
perolehan kekuasaan melalui pengangkatan dan atau pemilihan. Coersive Power adalah
perolehan kekuasaan melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan
kekuasaan yang bersifat inkonstitusional.
Selanjutnya expert power adalah perolehan
kekuasaan melalui keahlian seseorang dalam memangku jabatan tertentu. Reward
power adalah perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian, dimana orang atau
kelompok yang taat kepada orang atau kelompok lain mengharapkan atau
termotivasi oleh sejumlah uang pembayaran (misalnya gaji). Reverent power adalah
perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang, baik aspek wajah, postur
tubuh, penampilan atau sikap seseorang.
Sedangkan Information power adalah perolehan
kekuasaan melalui penguasaan terhadap akses informasi, terutama dalam era
teknologi komunikasi yang sangat modern seperti sekarang. Dan terakhir, Connection
power adalah cara memperoleh kekuasaan melalui hubungan (relation)
yang luas, baik dalam bidang politik maupun perekonomian.
Pembatasan Kekuasaan dan Demokrasi
Diatas telah disinggung bahwa dilihat dari
sumber-sumber kekuasaan, telah terjadi proses demokratisasi dalam praktek
pelaksanaan kekuasaan oleh penguasa. Ini berarti juga, kekuasaan yang dimiliki
oleh seorang penguasa, semakin lama semakin terbatas. Dan memang, adanya
kekuasaan yang terbatas dalam arti terdapat keseimbangan peran dan wewenang
antar lembaga-lembaga politik dalam suatu negara ini, merupakan salah satu
wujud utama dari ciri negara demokrasi. Masalahnya kemudian, siapa yang
sebenarnya berfungsi untuk melakukan pembatasan kekuasaan, serta bagaimana
mekanisme pembatasan kekuasaan tersebut ? Pentingnya pembatasan terhadap
kekuasaan negara / pemerintah ini didasari oleh falsafah Lord Acton yang
menyatakan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung untuk
menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak
terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute
power corrupt absolutely). Dalam termonilogi ilmu hukum tata negara,
penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah ini disebut dengan onrechtmatige
overheidsdaad.
Masih dalam konteks pembatasan kekuasaan – khususnya
di Indonesia – Amir Santoso (dalam Munandar, 1994 : 85) mengemukakan ilustrasi
menarik mengenai perlunya penciptaan mekanisme Check and Balances dalam
sistem politik Indonesia. Menurut Santoso, DPR dan Mahkamah Agung perlu
diberikan kekuasaan yang memadai untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif,
sehingga dalam melaksanakan tugasnya, eksekutif dapat dicegah untuk tidak
melampaui batas-batas wewenangnya atau mencoba melakukan akumulasi kekuasaan.
Sebaliknya, agar lembaga legislatif dan yudikatif tidak over acting dalam
melakukan pengawasan, maka pihak eksekutif perlu dilengkapi dengan seperangkat
ketentuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh DPR dan
Mahkamah Agung. Dengan demikian, ketiga lembaga tersebut akan saling menjaga
agar tidak saling melampaui batas wewenang masing-masing dan agar terpacu untuk
melakukan tugasnya secara optimal.
Pada bagian lain, Santoso menjelaskan lebih lanjut
bahwa salah satu tuntutan akan demokrasi adalah keinginan untuk melaksanakan
pengawasan sosial (social control) atas eksekutif (dalam hal ini adalah
birokrasi pemerintahan), termasuk keinginan untuk mempengaruhi kebijakan publik
secara lebih luas dan lebih mendalam. Lebih jauh Santoso mengatakan bahwa :
Selama 25 tahun
terakhir ini, beberapa analis politik berpendapat bahwa proses perumusan
kebijakan dalam negara Orde Baru berada di tangan sedikit orang. Orang yang
sedikit inilah yang merumuskan kebijakan pemerintah. Menurut mereka,
lembaga-lembaga kemasyarakatan boleh dikatakan memiliki kecil saja pengaruhnya
terhadap proses perumusan kebijakan tersebut. Atas dasar pendapat inilah mereka
menyebut negara Orde Baru ini dengan berbagai nama, mulai dari Negara Birokrasi
hingga Negara Korporatis. Dimasa depan ada kemungkinan proses perumusan dan
penerapan kebijakan akan mengalami perubahan (Munandar, 1994 : 319).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar