Selasa, 12 Juni 2012


MAKALAH
“PENYIMPANGAN SOSIAL”
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajarn sosiologi
                                                                             






Disusun Oleh:
Ligiawati fahmi fadillah

SMAN 26 BANDUNG


PEMBATASAN KEKUASAAN PEMERINTAH
DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Ahmad yulda

 Abstrak:
           
 Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pada hakekatnya adalah sarana untuk menjalankan fungsi pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun kekuasaan yang tidak terkontrol, justru akan mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat tersebut.  Oleh karena itulah diperlukan upaya pemberdayaan demos (masyarakat), karena sesungguhnya masyarakatlah yang berdaulat, sedang pemerintah hanya sekedar menjalankan amanat rakyat. Demos yang berdaya pada suatu negara, sekaligus akan mencerminkan bahwa negara tersebut menganut prinsip supremasi hukum dan menjunjung tinggi cita-cita demokrasi.

 Pendahuluan

 Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya mengandung ajaran executive heavy (Indra : tt), dimana lembaga eksekutif diberikan peranan dominan sebagai penyelenggara negara.  Hal ini terbaca secara eksplisit pada penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara RI, yang salah satu butirnya menyatakan sebagai berikut :
 “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang tertinggi dibawah majelis”.
           
            Meskipun kedudukan Presiden (sebagai kepala eksekutif) sejajar atau neben dengan lembaga tinggi negara lainnya (DPR, DPA, MA, BPK), namun kekuasaan riil untuk membentuk serta mengimplementasikan segala kebijakan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, berada dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Presiden.  Dasar legalitas inilah yang barangkali menyebabkan kekuasaan terakumulasi pada satu titik. Namun sebenarnya kecenderungan akumulasi kekuasaan pada satu titik ini telah diantisipasi oleh UUD 1945 dengan memberikan kedudukan yang kuat kepada DPR sebagai lembaga kontrol. Hanya masalahnya adalah, DPR tidak mampu menjalankan fungsinya secara efektif karena adanya “ranjau-ranjau” yang diciptakan oleh eksekutif, sehingga muncullah kondisi dimana legislatif dikooptasi oleh eksekutif.
Ranjau-ranjau ini misalnya dalam bentuk tata tertib dewan yang ketat dan kaku, mekanisme recall atau pergantian antar waktu, penyumbatan saluran aspirasi rakyat, penafsiran terhadap pasal 2 dan 6 UUD 1945 yang menguntungkan pemerintah, paket UU Politik yang kurang demokratis, dan sebagainya.

Dalam konteks reformasi sistem pemerintahan secara total, kekuasaan presiden perlu lebih dibatasi melalui pengawasan sosial yang ketat, sekaligus perlu dihilangkan rambu-rambu yang menyebabkan proses pengawasan menjadi tersendat.

 

 Konsep Kekuasaan dan Pembatasan Kekuasaan

Secara umum dapat dikatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu (Budiardjo, 1993 : 35). Inilah “kesepakatan umum” mengenai makna dan definisi kekuasaan, yang dikembangkan dari rumusan Laswell dan Kaplan dalam karya mereka yang berjudul Power and Society (Yale UP, 1950). Meskipun demikian, diantara para pemikir politik tetap terdapat sedikit perbedaan titik pandang atau penekanan (stressing), terutama dalam hal konteks dimana kekuasaan itu berlaku, atau siapa yang memegang dan menjalankan kekuasaan itu.
Dalam konteks ini, konsep tentang kekuasaan politik merujuk kepada kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik ini merupakan sebagiandari kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai pihak yang berhak mengendalikan tingkah laku masyarakat dengan paksaan.
Oleh karenanya, cakupan kekuasaan politik tidak hanya meliputi ketaatan dari masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang administratif, legislatif dan yudikatif (Budiardjo, 1993 : 37).
Secara lebih lengkap, beberapa pengertian lain dari kekuasaan yang diungkapkan para ahli politik, sebagaimana diinventarisir oleh Budiardjo (1994 : 92-94) antara lain sebagai berikut :
a. Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemauan ini (Max Weber, Wirtschaft und Gesselschaft, 1992).
b. Kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama (van Doorn, Sociologische Begrippen en Problemen rond het Verschijnsel Macht, 1957).
c. Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku untuk menetapkan secara mutlak atau mengubah (seluruhnya atau sebagian) alternatif-alternatif bertindak atau memilih, yang tersedia bagi pelaku-pelaku lain (Mokken, Power and Influence as Political Phenomena, 1976).
d. Kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif, dan jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar -- terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu (Talcott Parsons, The Distribution of Power in America Society, 1957).
Dalam setiap kajian mengenai konsep kekuasaan, terdapat suatu fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain seringkali tidak disertai dengan kewibawaan, sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang seringtidak dilandasi oleh kesadaran secara suka rela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau alat-alat kekuasaan. Selanjutnya, jika pembahasan telah memasuki dimensi ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang authority (otoritas, kewenangan) dan legitimacy (keabsahan), dua konsep yang tidak pernah bisa dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Otoritas atau wewenang sendiri menurut Robert Bierstedt dalam karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Pengertian ini bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.
Sedangkan beberapa pengertian legitimasi atau keabsahan seperti yang dikumpulkan oleh Budiardjo (1994 : 90-91), dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.
b. Legitimasi adalah the conviction on the part of the member that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by the requirements of the regime (David Easton, System Analysis of Political Life, 1965).
c. Legitimasi mencakup the capacity to produce and maintain a belief, that the existing political institutions or forms are the most appropriate for the society (Seymour Martin Lipset, Political Man : The Social Basis of Politics, 1969).
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, mengapa seseorang atau suatu kelompok memiliki wewenang yang lebih besar dan mampu memaksa orang atau kelompok lain untuk tunduk dan taat kepadanya, serta dari mana orang atau kelompok tadi memperoleh landasan legitimasi untuk melaksanakan kekuasaannya ? Untuk menjawab pertanyaan ini, mau tidak mau harus dikembalikan kepada teori tentang sumber-sumber kekuasaan serta cara mendapatkan kekuasaan.
Khususnya mengenai sumber-sumber kekuasaan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan di dunia yang menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non-demokratis kepada yang demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan (medium aevum) bagi kebudayaan global terutama di Eropa, dalam Ilmu Negara muncul pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan.
Ajaran yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan raja adalah bebas, tidak terbatas dan tidak terikat, karena memang raja hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka setiap kehendak dan perintah raja dianggap sebagai perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Meskipun demikian, ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Saat itulah saat dimana semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada raja baru yang menggantikannya.
Dari sini muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala negara, dan bukan sebaliknya (Prodjodikoro, 1981 : 37). Akan tetapi, ajaran inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (yaitu hukum) ?
Dalam hubungan ini, Krabbe dan Duguit menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) atau keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri -- menurut von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran demikian, ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Dengan kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala negara semakin diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan secara ekstrim.
Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan kekuasaan oleh hukum, namun peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum begitu menonjol. Oleh sebab itu, muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat yang masih berlaku hingga sekarang. Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau dan John Locke ini menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan.
Bahkan jika dipandang perlu, rakyat bisa menarik atau mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang tadi. Sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut. Inilah yang dimaksud Rousseau dengan istilah du contract social (perjanjian masyarakat).
Dari kilasan sejarah teori kedaulatan diatas, nampaklah bahwa sumber-sumber kekuasaan yang dikenal selama ini terdiri dari 4 (empat) sumber, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh atau bersumber dari Tuhan, Negara, Hukum dan Rakyat. Adapun cara-cara memperoleh kekuasaan, seperti dikemukakan oleh Syafiie (1996 : 54-58), terdiri dari 7 (tujuh) macam cara.
Legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan dan atau pemilihan. Coersive Power adalah perolehan kekuasaan melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan kekuasaan yang bersifat inkonstitusional.
Selanjutnya expert power adalah perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang dalam memangku jabatan tertentu. Reward power adalah perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian, dimana orang atau kelompok yang taat kepada orang atau kelompok lain mengharapkan atau termotivasi oleh sejumlah uang pembayaran (misalnya gaji). Reverent power adalah perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang, baik aspek wajah, postur tubuh, penampilan atau sikap seseorang.
Sedangkan Information power adalah perolehan kekuasaan melalui penguasaan terhadap akses informasi, terutama dalam era teknologi komunikasi yang sangat modern seperti sekarang. Dan terakhir, Connection power adalah cara memperoleh kekuasaan melalui hubungan (relation) yang luas, baik dalam bidang politik maupun perekonomian.

Pembatasan Kekuasaan dan Demokrasi
Diatas telah disinggung bahwa dilihat dari sumber-sumber kekuasaan, telah terjadi proses demokratisasi dalam praktek pelaksanaan kekuasaan oleh penguasa. Ini berarti juga, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang penguasa, semakin lama semakin terbatas. Dan memang, adanya kekuasaan yang terbatas dalam arti terdapat keseimbangan peran dan wewenang antar lembaga-lembaga politik dalam suatu negara ini, merupakan salah satu wujud utama dari ciri negara demokrasi. Masalahnya kemudian, siapa yang sebenarnya berfungsi untuk melakukan pembatasan kekuasaan, serta bagaimana mekanisme pembatasan kekuasaan tersebut ? Pentingnya pembatasan terhadap kekuasaan negara / pemerintah ini didasari oleh falsafah Lord Acton yang menyatakan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely). Dalam termonilogi ilmu hukum tata negara, penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah ini disebut dengan onrechtmatige overheidsdaad.
Masih dalam konteks pembatasan kekuasaan – khususnya di Indonesia – Amir Santoso (dalam Munandar, 1994 : 85) mengemukakan ilustrasi menarik mengenai perlunya penciptaan mekanisme Check and Balances dalam sistem politik Indonesia. Menurut Santoso, DPR dan Mahkamah Agung perlu diberikan kekuasaan yang memadai untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif, sehingga dalam melaksanakan tugasnya, eksekutif dapat dicegah untuk tidak melampaui batas-batas wewenangnya atau mencoba melakukan akumulasi kekuasaan. Sebaliknya, agar lembaga legislatif dan yudikatif tidak over acting dalam melakukan pengawasan, maka pihak eksekutif perlu dilengkapi dengan seperangkat ketentuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh DPR dan Mahkamah Agung. Dengan demikian, ketiga lembaga tersebut akan saling menjaga agar tidak saling melampaui batas wewenang masing-masing dan agar terpacu untuk melakukan tugasnya secara optimal.
Pada bagian lain, Santoso menjelaskan lebih lanjut bahwa salah satu tuntutan akan demokrasi adalah keinginan untuk melaksanakan pengawasan sosial (social control) atas eksekutif (dalam hal ini adalah birokrasi pemerintahan), termasuk keinginan untuk mempengaruhi kebijakan publik secara lebih luas dan lebih mendalam. Lebih jauh Santoso mengatakan bahwa :
Selama 25 tahun terakhir ini, beberapa analis politik berpendapat bahwa proses perumusan kebijakan dalam negara Orde Baru berada di tangan sedikit orang. Orang yang sedikit inilah yang merumuskan kebijakan pemerintah. Menurut mereka, lembaga-lembaga kemasyarakatan boleh dikatakan memiliki kecil saja pengaruhnya terhadap proses perumusan kebijakan tersebut. Atas dasar pendapat inilah mereka menyebut negara Orde Baru ini dengan berbagai nama, mulai dari Negara Birokrasi hingga Negara Korporatis. Dimasa depan ada kemungkinan proses perumusan dan penerapan kebijakan akan mengalami perubahan (Munandar, 1994 : 319).

Keinginan untuk melakukan pengawasan sosial dan untuk ikut mempengaruhi kebijakan publik, sebenarnya bersumber atau berakar dari konsep kedaulatan rakyat. Dalam hal ini, Soeseno (1991) menyatakan bahwa wewenang untuk memerintahi masyarakat harus berdasarkan pada penugasan dan persetujuan para warga masyarakat sendiri. Karenanya, kekuasaan mesti hanya dilegitimasi oleh kehendak mereka yang dikuasai. Lebih jauh dijelaskan bahwa kedaulatan rakyat bertumpu pada hak setiap orang untuk menentukan dirinya sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat. Dengan begitu, yang diperlukan bukan demokrasi total, melainkan kontrol demokratis yang efektif.

Soeseno kemudian mengajukan tesis bahwa, kontrol masyarakat terhadap kekuasaan negara bersifat nyata, walaupun terbatas. Hal ini menjadi kian gamblang saat sistem demokrasi mensyaratkan adanya keterbukaan dalam pengambilan keputusan. Secara lebih konkrit, kontrol masyarakat terhadap tindakan administrasi negara, sesungguhnya merupakan hak personal / individual sebagai mahluk sosial. Dengan begitu, apa pun yang dilakukan oleh pemerintah diamati secara ketat oleh masyarakat, melalui media massa, lembaga perwakilan, atau saluran-saluran lainnya. Pada pengertian lain, kelas negara harus bertindak atas dasar kesadaran bahwa rakyat merupakan pengawas serta merupakan "tuan" bagi segenap perilaku aparat pemerintahan.

Agaknya, persoalan justru berada pada derajat mengoptimalkan kontrol sosial tersebut, serta bagaimana hal itu dijadikan in-put agar segala produk dan prilaku pemerintah menjadi bertambah matang. Artinya, social control yang optimal sebagai in-put, semestinya menghasilkan out-put berupa pelayanan optimum yang disajikan oleh pemerintahan secara kualitatif. Dengan kata lain, pemberdayaan kontrol sosial adalah juga merupakan




BAB 1
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Perampokan dan pencurian adalah  prilaku penyimpangan social budaya  yang terjadi di tengah –tengah masyarakat,yang sangat menggagu dan merugikan orang lain .sepetri yng di beritakan pada  Koran di halaman dapan . Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, perampokan ,pencurian dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.

B.Ruang lingkup
Problematika sosial akan terus bergejolak sampai manusia itu akan berpisah antara ruh dengan nyawa, namun ada faktor yang sangat bermakna dalam kehidupan yakni faktor manusia dengan Tuhan.
Berbagai macam alasan yang terlontar ketika para pelaku penyimpangan social tertangtangkap .dari alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga keperluan untuk membahagiakan sang pacar.namun perlu kita kaji lebih jauh bahwa penyimpangan social terjadi  adanya penularan kebudayaan di lingkungan di mana tinggal sebuah komunitas.  Seperti Penjambret maupun pencuri.
C.Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah berusaha untuk mengakji tindakan kriminalitas yang merupakan tindakan penyimpangan social dan   budaya di tengah –tengah masyarakat Indonesia yang berasaskan Pancasila .karena hal ini erat kaitanya dengan sistim social dan buadaya yang terjadi di Indonesia.saya sadar bahwa makalah ini jauh dari sempurna .untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya makalah ini.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Penyimpangan Sosial;
Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidaksadar pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat.
Definisi Penyimpangan Sosial;
James W. Van Der Zanden; Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.
Robert M. Z. Lawang; Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Lemert (1951); Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:
1.      Penyimpangan Primer (Primary Deviation)Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat.
2.      Penyimpangan Sekunder (secondary deviation) Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat

Faktor Penyimpangan/masalah  Sosial;
Menurut James W. Van Der Zanden; faktor-faktor penyimpangan sosial adalah sebagai berikut:
·         Longgar/tidaknya nilai dan norma. Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto Penyimpangan/masalah sosial adalah suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Penyimpangan/masalah social dapat terjadi di dasarkan pada pengertian kebudayaan bahwa pada dasarnya kebudayaan selu bergerak (di namis) Semua kebudayaan mempunyai dinamika atau gerak. Gerak kebudayaan adalah gerak manusia yang hidup di dalam masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan tadi. Gerak manusia terjadi sebab dia mengadakan hubungan-hubungan dengan manusia lainnya. Artinya, karena terjadinya hubungan anta rkelompok manusia di dalam masyarakat.
B.Unsur-Unsur Kebudayaan
Tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu :
1.      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dsb)
2.      Mata pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi ( pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dsb)
3.      System kemasyarakatan ( system kekerabatan, organisasi politik, system hokum, system perkawinan)
4.      Bahasa (lisan maupun tertulis)
5.      Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dsb)
6.      Sistem pengetahuan
7.      Religi (system kepercayaan)
Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat Ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
C.  Peluang yang Memunculkan Motif Penyimpangan Sosial
Pada intinya, tingkat kejahatan di suatu negara berbanding lurus dengan kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hukumnya. Khusus untuk kejahatan seperti perampokan dan pencurian, menurut sosiolog Budi Radjab, faktor ekonomi memegang peranan dominan sebagai motivasinya. Gambarannya, faktor ekonomi menyumbangkan enam puluh persen motif perampokan. Selebihnya, menurut dia, adalah motif-motif yang berbeda pada setiap orang, termasuk membuktikan diri sebagai orang yang jago dalam kejahatan.Selain motif, hal yang perlu digaris bawahi adalah adanya peluang yang bisa mendukung atau menghambat motif calon perampok. Peluang tersebut tercipta lantaran kondisi masyarakat berupa ketimpangan sosial dan ekonomi. Kecenderungan masyarakat yang semakin individualistis, menurut dia, bukanlah faktor dominan."Coba lihat di negara-negara Eropa, Amerika, atau Singapura. Mereka" cenderung individualistis tetapi tingkat kejahatan rendah. Kalaupun ada perampokan, lebih pada kejahatan yang tidak berpola. Dengan kata lain, itu accident atau kebetulan.
Kasus perampokan tidak berpola, ditandai dengan mudah ditangkapnya pelaku. Biasanya kejahatan semacam itu terjadi di negara-negara dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang tidak terlalu tinggi. Sebaliknya, perampokan berpola lebih banyak terjadi di negara atau daerah dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebar. Keadaan itulah yang memberi ruang bagi tumbuhnya motif-motif perampokan.Kasus perampokan beruntun di kabupaten/kota, bisa dijadikan salah satu indikator kondisi masyarakatnya. "Akan tetapi, harus bisa ditentukan dahulu kejahatan itu berpola atau tidak. Polisi pasti bisa memastikannya," kata Budi Radjab.Jika memang berpola, bisa disimpulkan peluang melakukan kejahatan di Indonesia sudah begitu lebar. Pemicunya tidak hanya ketimpangan sosial dan ekonomi. "Kelengahan kepolisian dan sistem penjara selama ini juga turut memberikan peluang kejahatan," katanya.Di Indonesia, keterbatasan jumlah penjara menyebabkan dicampurnya para penjahat dari kelas teri hingga kelas kakap. "Pencuri kaus dengan pencuri uang triliunan rupiah ditempatkan dalam satu sel. Itu peluang untuk belajar,"ujar Budi. Hal tersebut berbeda dengan di Eropa dan Amerika yang membuat pengate-gorian penjara untuk setiap tingkat kejahatan perihal sistem penjara seperti itu dibenarkan pakar hukum dan kriminologi Yes-mil Anwar. Oleh karena itu, terlepas dari terpola atau tidak, dia memprediksi pelaku perampokan .adalah pemain lama yang notabene adalah residivis. "Penjara adalah sekolah kejahatan paling bagus. Memang ada pembinaan, tetapi pada kenyataannya para pembinanya justru menjadi kacung yang dibina," katanya.Hasilnya, ketika keluar dari penjara, para penjahat di Indonesia cenderung akan lebih pandai dari sebelumnya. Mereka pun cenderung membentuk jaringan baru selepas dari tahanan.Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum, baik di penjara maupun di luar penjara, membuat residivis semakin leluasa bertindak. Terlebih, saat terjadi perampokan di Jawa Barat tersebut, kepolisian tengah sibuk mengurus masalah internal.
Kasus perampokan,meskipun terjadi di daerah yang berbeda, memungkinkan dua sampai tiga kelompok yang sama melakukan perampokan di tempat berbeda. Setiap kelompok pun, bisa jadi, saling mengenal. "Akan tetapi, ini bukan organized crime (kejahatan terorganisasi) oleh satu jaringan," ujarnya. Proses yang terjadi secara beruntun, menurut dia, karena kejahatan itu adalah "penyakit menular". Dengan lingkungan yang mendukung, seperti lengahnya kepolisian, penyakit itu tumbuh subur. "Kejahatan itu bisa dipelajari. Ketika ada kelompok yang dengan mudah bisa mengelabui polisi, modusnya akan segera dipelajari oleh kelompok lain. Polisi seharusnya lebih profesional. Patroli pun diperketat. Jangan hanya ketika kapoldanya mau lewat," tuturnya
D. Perilaku menyimpang sebagai hasil proses sosialisasi nilai-nilai sub kebudayaan menyimpang
Dalam proses sosialisasi, seseorang mungkin dipengaruhi oleh nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang, sehingga terbentuklah perilaku menyimpang. Contoh : seorang anak dibesarkan pada lingkungan yang menganggap perbuatan minum-minuman keras, pelacuran, dan perkelahian sebagai hal yang biasa, maka anak tersebut akan melakukan perbuatan menyimpang yang serupa. Menurut ukuran masyarakat luas, perbuatan anak tersebut jelas bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, maka perbuatan anak tersebut dapat dikategorikan menyimpang. Perilaku menyimpang tersebut banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Perilaku menyimpang dapat disebabkan oleh anomi. Secara sederhana anomi diartikan sebagai suatu keadaan di masyarakat tanpa norma. Konsep anomi yang dikemukakan oleh Emilie Durkheim adalah keadaan yang kontras antara pengaruh subkebudayaan dengan kenyataan sehari-hari dalam masyarakat. Seakan-akan tidak mempunyai aturan-aturan untuk ditaati bersama. Keadaannya menjadi chaos atau kekacauan yang sulit diatasi. Padahal cukup banyak aturan-aturan yang telah disepakati bersama dalam masyarakat yang disebut konformitas. Jika aturan ini dilanggar disebut deviasi. Apabila pelanggaran sudah dianggap biasa, karena toleransinya pengawasan sosial, penyimpangan itu akhirnya menjadi konformitas. Contoh: perbuatan menyuap penjaga lembaga pemasyarakatan
Menurut Robert K. Merton
keadaan anomi dapat menyebabkan penyimpangansosial. Dikatakan bahwa dalam proses sosialisasi individu-individu belajar mengenal tujuan-tujuan penting dalam kebudayaan dan juga mempelajari cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan budaya tersebut. Anomi terjadi karena adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara untuk mencapai tujuan budaya tersebut. Menurut Merton, ada lima tipologi tingkah laku individu untuk menghadapi hal tersebut yaitu konformitas, inovasilitualisme, pengasingan diri, dan pem-berontakan.
E.Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial adalah satu tindakan yang melanggar nilai dan norma social sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna yang dijalani individu baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Keberhasilan suatu proses sosialisasi bagi individu, yaitu dengan ditunjangnya peranan orang dewasa (orang tua, guru, dan tokoh masyarakat), situasi, media sosialisasi, dan sarana prasarana penunjang lainnya.
a.      Peranan Orang Dewasa Orang dewasa yang tidak berhasil dalam menyediakan akomodasi yang baik untuk kelancaran proses sosalisasi bagi generasi muda, dapat berpengaruh negative pada pembentukan kepribadian seseorang, yakni perilaku yang menyimpang dalam interaksi sosial. Seperti adanya larangan merokok untuk anak atau siswa, akan tetapi yang melarangnya yaitu orang tua atau guru, setiap harinya merokok, dan tentu saja larangan tersebut dianggap tidak adil bagi si anak tersebut, sebagai akibatnya larangan tersebut dilanggarnya. Upaya peranan orang dewasa dalam pencegahan dan pengendalian penyimpangan dapat dilakukan dengan cara mendidik, mengajak, memberi contoh, dan bahkan memaksa melalui bentuk teguran, pendidikan, ajaran agama, hukuman.
b.      Peranan Situasi Lingkungan Situasi lingkungan yang dimaksud adalah situasi lingkungan keluarga, teman sepermainan, sekolah, lingkungan kerja, dan media massa. Dalam situasi lingkungan apabila individu tidak memperoleh kesempatan untuk melakukan proses sosialisasi secara efektif dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan nilai dan norma tersebut, maka cenderung individu tidak melakukan proses sosialisasi yang tidak sempurna. Akhirnya mengarahkan ke bentuk perilaku yang menyimpang. Misalnya, seorang anak yang dikekang dan selalu diberlakukan secara tidak adil maka lambat laun si anak tersebut akan melakukan tindakan yang negatif terhadap lingkungannya.
c.       Peranan Kesempatan Sosialisasi Bila individu tersebut cenderung tidak mempunyai kesempatan dalam melakukan sosialisasi secara sempurna, baik di keluarga, masyarakat maupun lingkungan sekolah maka individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan masyarakat dan lingkungannya. Misalnya, anak yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali maka ia tidak akan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, ataupun nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Proses sosialisasi berjalan tidak sempurna karena materi informasi dan media sosialisasi yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan, selain itu juga dapat mengakibatkan konflik pribadi pada diri seorang anak.















BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Perilaku menyimpang dalam konteks agama, secara ekstrem perilakunya diberikan stempel sebagai pendosa atau orang sesat, termasuk ajaran dan faham yang disiarkannya kepada masyarakat dianggap bertentangan dengan syariat maupun akidah agama disebut sebagai ajaran sesat. Dalam beberapa bukunya, seperti yang tercamtum di bawah, Hery Santoso (HS Harding) banyak mengungkapkan contoh kasus yang telah lama berkembang dan tersembunyi di dalam kehidupan seharihari, terutama tentang perilakuperilaku yang menyimpang di luar dari batas kelaziman dan social budaya yang menjadi kesepakatan masyarakat.
Penyimpangan perilaku yang bersifat individual atau personal (pribadi) dan tidak menggeret pada seseorang, orang kedua, atau pihak lain di luar dirinya, dapat terjadi dikarenakan adanya pengaruh dari pengalaman di masa lalunya yang kebanyakan "kurang menyenangkan", hingga menumbuhkan rasa (sense) semacam "virus" yang keliru di dalam pandangan (persepsi dan interpretasi)nya.
C.Saran
Penyimpangan /permasalahan social yang terjadi di sekitar kita terjadi adanya pengaruah informasi dan budaya yang di di hubungkan oleh budaya dari kelom[pok maupun personal.untuk itu demi meyelematkan orang-orang yang kita sayangi dari perbuatan penyimpangan social. Hendaknya kita lebih aktif untuk menjalin koordinasi dan mempererat  tali silahturohmi.serta mengutkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.semogqa kita semua termasuk dari oarng yang selamat dari penyimpangan /masalah social.





DAFTAR PUSTAKA
Jurnalskripsi.com