Ligiawati Fahmi Fadillah
Rabu, 13 Juni 2012
Selasa, 12 Juni 2012
PEMBATASAN KEKUASAAN PEMERINTAH
DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Ahmad yulda
Abstrak:
Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah
pada hakekatnya adalah sarana untuk menjalankan fungsi pelayanan dan
kesejahteraan bagi masyarakat. Namun kekuasaan yang tidak terkontrol, justru
akan mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itulah diperlukan upaya
pemberdayaan demos (masyarakat), karena sesungguhnya masyarakatlah yang
berdaulat, sedang pemerintah hanya sekedar menjalankan amanat rakyat. Demos
yang berdaya pada suatu negara, sekaligus akan mencerminkan bahwa negara
tersebut menganut prinsip supremasi hukum dan menjunjung tinggi cita-cita
demokrasi.
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya
mengandung ajaran executive heavy (Indra : tt), dimana lembaga eksekutif
diberikan peranan dominan sebagai penyelenggara negara. Hal ini terbaca secara eksplisit pada
penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara RI, yang salah satu
butirnya menyatakan sebagai berikut :
“Presiden adalah penyelenggara pemerintahan
yang tertinggi dibawah majelis”.
Meskipun
kedudukan Presiden (sebagai kepala eksekutif) sejajar atau neben dengan
lembaga tinggi negara lainnya (DPR, DPA, MA, BPK), namun kekuasaan riil untuk
membentuk serta mengimplementasikan segala kebijakan yang berhubungan langsung
dengan masyarakat, berada dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Presiden. Dasar legalitas inilah yang barangkali
menyebabkan kekuasaan terakumulasi pada satu titik. Namun sebenarnya
kecenderungan akumulasi kekuasaan pada satu titik ini telah diantisipasi oleh
UUD 1945 dengan memberikan kedudukan yang kuat kepada DPR sebagai lembaga
kontrol. Hanya masalahnya adalah, DPR tidak mampu menjalankan fungsinya secara
efektif karena adanya “ranjau-ranjau” yang diciptakan oleh eksekutif, sehingga
muncullah kondisi dimana legislatif dikooptasi oleh eksekutif.
Ranjau-ranjau ini misalnya dalam bentuk
tata tertib dewan yang ketat dan kaku, mekanisme recall atau pergantian
antar waktu, penyumbatan saluran aspirasi rakyat, penafsiran terhadap pasal 2
dan 6 UUD 1945 yang menguntungkan pemerintah, paket UU Politik yang kurang
demokratis, dan sebagainya.
Dalam konteks reformasi sistem pemerintahan secara total, kekuasaan presiden perlu lebih dibatasi melalui pengawasan sosial yang ketat, sekaligus perlu dihilangkan rambu-rambu yang menyebabkan proses pengawasan menjadi tersendat.
Konsep Kekuasaan dan Pembatasan Kekuasaan
Secara umum dapat dikatakan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku
itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu
(Budiardjo, 1993 : 35). Inilah “kesepakatan umum” mengenai makna dan definisi
kekuasaan, yang dikembangkan dari rumusan Laswell dan Kaplan dalam karya mereka
yang berjudul Power and Society (Yale UP, 1950). Meskipun demikian,
diantara para pemikir politik tetap terdapat sedikit perbedaan titik pandang
atau penekanan (stressing), terutama dalam hal konteks dimana kekuasaan itu
berlaku, atau siapa yang memegang dan menjalankan kekuasaan itu.
Dalam konteks ini, konsep tentang
kekuasaan politik merujuk kepada kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan
umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan
tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik ini merupakan
sebagiandari
kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai pihak yang
berhak mengendalikan tingkah laku masyarakat dengan paksaan.
Oleh karenanya, cakupan kekuasaan politik tidak
hanya meliputi ketaatan dari masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian
orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di
bidang administratif, legislatif dan yudikatif (Budiardjo, 1993 : 37).
Secara lebih lengkap, beberapa pengertian lain dari
kekuasaan yang diungkapkan para ahli politik, sebagaimana diinventarisir oleh
Budiardjo (1994 : 92-94) antara lain sebagai berikut :
a.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam hubungan sosial, melaksanakan kemauan
sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemauan ini (Max
Weber, Wirtschaft und Gesselschaft, 1992).
b.
Kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak
dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama (van
Doorn, Sociologische Begrippen en Problemen rond het Verschijnsel Macht,
1957).
c.
Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku untuk menetapkan secara mutlak atau
mengubah (seluruhnya atau sebagian) alternatif-alternatif bertindak atau
memilih, yang tersedia bagi pelaku-pelaku lain (Mokken, Power and Influence
as Political Phenomena, 1976).
d.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu
sistem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat.
Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif, dan jika ada
perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar --
terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu (Talcott Parsons, The
Distribution of Power in America Society, 1957).
Dalam setiap kajian mengenai konsep kekuasaan,
terdapat suatu fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi
sikap dan tingkah laku orang lain seringkali tidak disertai dengan kewibawaan,
sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang seringtidak dilandasi oleh
kesadaran secara suka rela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau
alat-alat kekuasaan. Selanjutnya, jika pembahasan telah memasuki dimensi
ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau
kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang authority (otoritas,
kewenangan) dan legitimacy (keabsahan), dua konsep yang tidak pernah
bisa dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Otoritas atau wewenang sendiri menurut Robert
Bierstedt dalam karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah
kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Pengertian ini
bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan bahwa
wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya
hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta dimilikinya
hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.
Sedangkan beberapa pengertian legitimasi atau
keabsahan seperti yang dikumpulkan oleh Budiardjo (1994 : 90-91), dapat
dikemukakan sebagai berikut :
a.
Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada
pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.
b.
Legitimasi adalah the conviction on the part of the member that it is right
and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by the
requirements of the regime (David Easton, System Analysis of Political
Life, 1965).
c.
Legitimasi mencakup the capacity to produce and maintain a belief, that the
existing political institutions or forms are the most appropriate for the
society (Seymour Martin Lipset, Political Man : The Social Basis of
Politics, 1969).
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, mengapa
seseorang atau suatu kelompok memiliki wewenang yang lebih besar dan mampu
memaksa orang atau kelompok lain untuk tunduk dan taat kepadanya, serta dari
mana orang atau kelompok tadi memperoleh landasan legitimasi untuk melaksanakan
kekuasaannya ? Untuk menjawab pertanyaan ini, mau tidak mau harus dikembalikan
kepada teori tentang sumber-sumber kekuasaan serta cara mendapatkan kekuasaan.
Khususnya mengenai sumber-sumber kekuasaan, hal ini
tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan di dunia yang menunjukkan
suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari
yang non-demokratis kepada yang demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya
abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan (medium aevum) bagi
kebudayaan global terutama di Eropa, dalam Ilmu Negara muncul pemikiran tentang
Kedaulatan Tuhan.
Ajaran yang sangat identik dengan teori Kedaulatan
Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan
kepada raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan raja adalah bebas, tidak terbatas dan
tidak terikat, karena memang raja hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Tuhan.
Dengan demikian maka setiap kehendak dan perintah raja dianggap sebagai
perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Meskipun demikian, ajaran ini mengandung kelemahan,
yaitu ketika raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi
dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Saat itulah saat dimana semua
yang dimilikinya langsung berpindah kepada raja baru yang menggantikannya.
Dari sini muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara
yang berpendapat bahwa negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala
negara, dan bukan sebaliknya (Prodjodikoro, 1981 : 37). Akan tetapi, ajaran
inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau
pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur
(yaitu hukum) ?
Dalam hubungan ini, Krabbe dan Duguit menyatakan
bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) atau
keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat.
Dan hukum itu sendiri -- menurut von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia,
melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum dari
ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan
perkembangan hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran
demikian, ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan
Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat
dilihat terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu
diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang
banyak. Dengan kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala
negara semakin diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi
berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan secara ekstrim.
Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan
kekuasaan oleh hukum, namun peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum
begitu menonjol. Oleh sebab itu, muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat
yang masih berlaku hingga sekarang. Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques
Rousseau dan John Locke ini menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang
tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan
pemerintahan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu
tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan.
Bahkan jika dipandang perlu, rakyat bisa menarik
atau mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau
sekelompok orang tadi. Sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan
perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut.
Inilah yang dimaksud Rousseau dengan istilah du contract social (perjanjian
masyarakat).
Dari kilasan sejarah teori kedaulatan diatas,
nampaklah bahwa sumber-sumber kekuasaan yang dikenal selama ini terdiri dari 4
(empat) sumber, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh atau bersumber dari Tuhan,
Negara, Hukum dan Rakyat. Adapun cara-cara memperoleh kekuasaan, seperti
dikemukakan oleh Syafiie (1996 : 54-58), terdiri dari 7 (tujuh) macam cara.
Legitimate power adalah
perolehan kekuasaan melalui pengangkatan dan atau pemilihan. Coersive Power adalah
perolehan kekuasaan melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan
kekuasaan yang bersifat inkonstitusional.
Selanjutnya expert power adalah perolehan
kekuasaan melalui keahlian seseorang dalam memangku jabatan tertentu. Reward
power adalah perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian, dimana orang atau
kelompok yang taat kepada orang atau kelompok lain mengharapkan atau
termotivasi oleh sejumlah uang pembayaran (misalnya gaji). Reverent power adalah
perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang, baik aspek wajah, postur
tubuh, penampilan atau sikap seseorang.
Sedangkan Information power adalah perolehan
kekuasaan melalui penguasaan terhadap akses informasi, terutama dalam era
teknologi komunikasi yang sangat modern seperti sekarang. Dan terakhir, Connection
power adalah cara memperoleh kekuasaan melalui hubungan (relation)
yang luas, baik dalam bidang politik maupun perekonomian.
Pembatasan Kekuasaan dan Demokrasi
Diatas telah disinggung bahwa dilihat dari
sumber-sumber kekuasaan, telah terjadi proses demokratisasi dalam praktek
pelaksanaan kekuasaan oleh penguasa. Ini berarti juga, kekuasaan yang dimiliki
oleh seorang penguasa, semakin lama semakin terbatas. Dan memang, adanya
kekuasaan yang terbatas dalam arti terdapat keseimbangan peran dan wewenang
antar lembaga-lembaga politik dalam suatu negara ini, merupakan salah satu
wujud utama dari ciri negara demokrasi. Masalahnya kemudian, siapa yang
sebenarnya berfungsi untuk melakukan pembatasan kekuasaan, serta bagaimana
mekanisme pembatasan kekuasaan tersebut ? Pentingnya pembatasan terhadap
kekuasaan negara / pemerintah ini didasari oleh falsafah Lord Acton yang
menyatakan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung untuk
menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak
terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute
power corrupt absolutely). Dalam termonilogi ilmu hukum tata negara,
penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah ini disebut dengan onrechtmatige
overheidsdaad.
Masih dalam konteks pembatasan kekuasaan – khususnya
di Indonesia – Amir Santoso (dalam Munandar, 1994 : 85) mengemukakan ilustrasi
menarik mengenai perlunya penciptaan mekanisme Check and Balances dalam
sistem politik Indonesia. Menurut Santoso, DPR dan Mahkamah Agung perlu
diberikan kekuasaan yang memadai untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif,
sehingga dalam melaksanakan tugasnya, eksekutif dapat dicegah untuk tidak
melampaui batas-batas wewenangnya atau mencoba melakukan akumulasi kekuasaan.
Sebaliknya, agar lembaga legislatif dan yudikatif tidak over acting dalam
melakukan pengawasan, maka pihak eksekutif perlu dilengkapi dengan seperangkat
ketentuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh DPR dan
Mahkamah Agung. Dengan demikian, ketiga lembaga tersebut akan saling menjaga
agar tidak saling melampaui batas wewenang masing-masing dan agar terpacu untuk
melakukan tugasnya secara optimal.
Pada bagian lain, Santoso menjelaskan lebih lanjut
bahwa salah satu tuntutan akan demokrasi adalah keinginan untuk melaksanakan
pengawasan sosial (social control) atas eksekutif (dalam hal ini adalah
birokrasi pemerintahan), termasuk keinginan untuk mempengaruhi kebijakan publik
secara lebih luas dan lebih mendalam. Lebih jauh Santoso mengatakan bahwa :
Selama 25 tahun
terakhir ini, beberapa analis politik berpendapat bahwa proses perumusan
kebijakan dalam negara Orde Baru berada di tangan sedikit orang. Orang yang
sedikit inilah yang merumuskan kebijakan pemerintah. Menurut mereka,
lembaga-lembaga kemasyarakatan boleh dikatakan memiliki kecil saja pengaruhnya
terhadap proses perumusan kebijakan tersebut. Atas dasar pendapat inilah mereka
menyebut negara Orde Baru ini dengan berbagai nama, mulai dari Negara Birokrasi
hingga Negara Korporatis. Dimasa depan ada kemungkinan proses perumusan dan
penerapan kebijakan akan mengalami perubahan (Munandar, 1994 : 319).
Keinginan untuk melakukan pengawasan sosial dan untuk ikut mempengaruhi kebijakan publik, sebenarnya bersumber atau berakar dari konsep kedaulatan rakyat. Dalam hal ini, Soeseno (1991) menyatakan bahwa wewenang untuk memerintahi masyarakat harus berdasarkan pada penugasan dan persetujuan para warga masyarakat sendiri. Karenanya, kekuasaan mesti hanya dilegitimasi oleh kehendak mereka yang dikuasai. Lebih jauh dijelaskan bahwa kedaulatan rakyat bertumpu pada hak setiap orang untuk menentukan dirinya sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat. Dengan begitu, yang diperlukan bukan demokrasi total, melainkan kontrol demokratis yang efektif.
Soeseno kemudian mengajukan tesis bahwa, kontrol masyarakat terhadap kekuasaan negara bersifat nyata, walaupun terbatas. Hal ini menjadi kian gamblang saat sistem demokrasi mensyaratkan adanya keterbukaan dalam pengambilan keputusan. Secara lebih konkrit, kontrol masyarakat terhadap tindakan administrasi negara, sesungguhnya merupakan hak personal / individual sebagai mahluk sosial. Dengan begitu, apa pun yang dilakukan oleh pemerintah diamati secara ketat oleh masyarakat, melalui media massa, lembaga perwakilan, atau saluran-saluran lainnya. Pada pengertian lain, kelas negara harus bertindak atas dasar kesadaran bahwa rakyat merupakan pengawas serta merupakan "tuan" bagi segenap perilaku aparat pemerintahan.
Agaknya, persoalan justru berada pada derajat mengoptimalkan kontrol sosial tersebut, serta bagaimana hal itu dijadikan in-put agar segala produk dan prilaku pemerintah menjadi bertambah matang. Artinya, social control yang optimal sebagai in-put, semestinya menghasilkan out-put berupa pelayanan optimum yang disajikan oleh pemerintahan secara kualitatif. Dengan kata lain, pemberdayaan kontrol sosial adalah juga merupakan
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Perampokan
dan pencurian adalah prilaku penyimpangan
social budaya yang terjadi di tengah
–tengah masyarakat,yang sangat menggagu dan merugikan orang lain .sepetri yng
di beritakan pada Koran di halaman dapan
. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai
dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah
sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial
dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus
seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat,
dan lain sebagainya
Masalah
sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :
1.
Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2.
Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, perampokan ,pencurian dll.
3.
Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4.
Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
B.Ruang lingkup
Problematika
sosial akan terus bergejolak sampai manusia itu akan berpisah antara ruh dengan
nyawa, namun ada faktor yang sangat bermakna dalam kehidupan yakni faktor
manusia dengan Tuhan.
Berbagai
macam alasan yang terlontar ketika para pelaku penyimpangan social
tertangtangkap .dari alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga
keperluan untuk membahagiakan sang pacar.namun perlu kita kaji lebih jauh bahwa
penyimpangan social terjadi adanya
penularan kebudayaan di lingkungan di mana tinggal sebuah komunitas. Seperti Penjambret maupun pencuri.
C.Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah berusaha untuk mengakji tindakan kriminalitas
yang merupakan tindakan penyimpangan social dan budaya di tengah –tengah masyarakat
Indonesia yang berasaskan Pancasila .karena hal ini erat kaitanya dengan sistim
social dan buadaya yang terjadi di Indonesia.saya sadar bahwa makalah ini jauh
dari sempurna .untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan
demi sempurnanya makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Penyimpangan Sosial;
Penyimpangan
sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidaksadar pernah kita alami atau
kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh
siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala
luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam
masyarakat.Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan
kata lain penyimpangan (deviation)
adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak
masyarakat.
Definisi Penyimpangan Sosial;
James W. Van Der Zanden;
Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang
dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.
Robert M. Z. Lawang;
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang
berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang
dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
Lemert (1951);
Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:
1. Penyimpangan
Primer (Primary Deviation)Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si
pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer
atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir
oleh masyarakat.
2. Penyimpangan
Sekunder (secondary deviation) Penyimpangan yang berupa perbuatan yang
dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang.
Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan
pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir
oleh masyarakat
Faktor Penyimpangan/masalah Sosial;
Menurut James W. Van Der Zanden;
faktor-faktor penyimpangan sosial adalah sebagai berikut:
·
Longgar/tidaknya nilai dan norma. Ukuran
perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut
pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai
sosial suatu masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto
Penyimpangan/masalah sosial adalah suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur
kebudayaan dalam masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika
terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan
hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Penyimpangan/masalah
social dapat terjadi di dasarkan pada pengertian kebudayaan bahwa pada dasarnya
kebudayaan selu bergerak (di namis) Semua kebudayaan mempunyai dinamika atau
gerak. Gerak kebudayaan adalah gerak manusia yang hidup di dalam masyarakat
yang menjadi wadah kebudayaan tadi. Gerak manusia terjadi sebab dia mengadakan
hubungan-hubungan dengan manusia lainnya. Artinya, karena terjadinya hubungan
anta rkelompok manusia di dalam masyarakat.
B.Unsur-Unsur Kebudayaan
Tujuh
unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu :
1. Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi, transport, dsb)
2. Mata
pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi ( pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi dsb)
3. System
kemasyarakatan ( system kekerabatan, organisasi politik, system hokum, system
perkawinan)
4. Bahasa
(lisan maupun tertulis)
5. Kesenian
(seni rupa, seni suara, seni gerak, dsb)
6. Sistem
pengetahuan
7. Religi
(system kepercayaan)
Fungsi Kebudayaan
Bagi Masyarakat Ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
C.
Peluang yang Memunculkan Motif Penyimpangan Sosial
Pada
intinya, tingkat kejahatan di suatu negara berbanding lurus dengan kondisi
ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hukumnya. Khusus untuk kejahatan seperti
perampokan dan pencurian, menurut sosiolog Budi Radjab, faktor ekonomi memegang
peranan dominan sebagai motivasinya. Gambarannya, faktor ekonomi menyumbangkan
enam puluh persen motif perampokan. Selebihnya, menurut dia, adalah motif-motif
yang berbeda pada setiap orang, termasuk membuktikan diri sebagai orang yang
jago dalam kejahatan.Selain motif, hal yang perlu digaris bawahi adalah adanya peluang
yang bisa mendukung atau menghambat motif calon perampok. Peluang tersebut
tercipta lantaran kondisi masyarakat berupa ketimpangan sosial dan ekonomi.
Kecenderungan masyarakat yang semakin individualistis, menurut dia, bukanlah
faktor dominan."Coba lihat di negara-negara Eropa, Amerika, atau
Singapura. Mereka" cenderung individualistis tetapi tingkat kejahatan
rendah. Kalaupun ada perampokan, lebih pada kejahatan yang tidak berpola.
Dengan kata lain, itu accident atau kebetulan.
Kasus
perampokan tidak berpola, ditandai dengan mudah ditangkapnya pelaku. Biasanya
kejahatan semacam itu terjadi di negara-negara dengan ketimpangan sosial dan
ekonomi yang tidak terlalu tinggi. Sebaliknya, perampokan berpola lebih banyak
terjadi di negara atau daerah dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebar.
Keadaan itulah yang memberi ruang bagi tumbuhnya motif-motif perampokan.Kasus
perampokan beruntun di kabupaten/kota, bisa dijadikan salah satu indikator
kondisi masyarakatnya. "Akan tetapi, harus bisa ditentukan dahulu
kejahatan itu berpola atau tidak. Polisi pasti bisa memastikannya," kata
Budi Radjab.Jika memang berpola, bisa disimpulkan peluang melakukan kejahatan
di Indonesia sudah begitu lebar. Pemicunya tidak hanya ketimpangan sosial dan
ekonomi. "Kelengahan kepolisian dan sistem penjara selama ini juga turut
memberikan peluang kejahatan," katanya.Di Indonesia, keterbatasan jumlah
penjara menyebabkan dicampurnya para penjahat dari kelas teri hingga kelas
kakap. "Pencuri kaus dengan pencuri uang triliunan rupiah ditempatkan
dalam satu sel. Itu peluang untuk belajar,"ujar Budi. Hal tersebut berbeda
dengan di Eropa dan Amerika yang membuat pengate-gorian penjara untuk setiap
tingkat kejahatan perihal sistem penjara seperti itu dibenarkan pakar hukum dan
kriminologi Yes-mil Anwar. Oleh karena itu, terlepas dari terpola atau tidak,
dia memprediksi pelaku perampokan .adalah pemain lama yang notabene adalah
residivis. "Penjara adalah sekolah kejahatan paling bagus. Memang ada
pembinaan, tetapi pada kenyataannya para pembinanya justru menjadi kacung yang
dibina," katanya.Hasilnya, ketika keluar dari penjara, para penjahat di
Indonesia cenderung akan lebih pandai dari sebelumnya. Mereka pun cenderung
membentuk jaringan baru selepas dari tahanan.Di sisi lain, lemahnya penegakan
hukum, baik di penjara maupun di luar penjara, membuat residivis semakin
leluasa bertindak. Terlebih, saat terjadi perampokan di Jawa Barat tersebut,
kepolisian tengah sibuk mengurus masalah internal.
Kasus
perampokan,meskipun terjadi di daerah yang berbeda, memungkinkan dua sampai
tiga kelompok yang sama melakukan perampokan di tempat berbeda. Setiap kelompok
pun, bisa jadi, saling mengenal. "Akan tetapi, ini bukan organized crime
(kejahatan terorganisasi) oleh satu jaringan," ujarnya. Proses yang terjadi
secara beruntun, menurut dia, karena kejahatan itu adalah "penyakit
menular". Dengan lingkungan yang mendukung, seperti lengahnya kepolisian,
penyakit itu tumbuh subur. "Kejahatan itu bisa dipelajari. Ketika ada
kelompok yang dengan mudah bisa mengelabui polisi, modusnya akan segera
dipelajari oleh kelompok lain. Polisi seharusnya lebih profesional. Patroli pun
diperketat. Jangan hanya ketika kapoldanya mau lewat," tuturnya
D. Perilaku menyimpang sebagai
hasil proses sosialisasi nilai-nilai sub kebudayaan menyimpang
Dalam
proses sosialisasi, seseorang mungkin dipengaruhi oleh nilai-nilai
subkebudayaan yang menyimpang, sehingga terbentuklah perilaku menyimpang.
Contoh : seorang anak dibesarkan pada lingkungan yang menganggap perbuatan
minum-minuman keras, pelacuran, dan perkelahian sebagai hal yang biasa, maka
anak tersebut akan melakukan perbuatan menyimpang yang serupa. Menurut ukuran
masyarakat luas, perbuatan anak tersebut jelas bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku, maka perbuatan anak tersebut dapat dikategorikan menyimpang.
Perilaku menyimpang tersebut banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
Perilaku menyimpang dapat disebabkan oleh anomi. Secara sederhana anomi
diartikan sebagai suatu keadaan di masyarakat tanpa norma. Konsep anomi yang
dikemukakan oleh Emilie Durkheim adalah keadaan yang kontras antara pengaruh
subkebudayaan dengan kenyataan sehari-hari dalam masyarakat. Seakan-akan tidak
mempunyai aturan-aturan untuk ditaati bersama. Keadaannya menjadi chaos atau
kekacauan yang sulit diatasi. Padahal cukup banyak aturan-aturan yang telah
disepakati bersama dalam masyarakat yang disebut konformitas. Jika aturan ini dilanggar disebut deviasi. Apabila
pelanggaran sudah dianggap biasa, karena toleransinya pengawasan sosial,
penyimpangan itu akhirnya menjadi konformitas. Contoh: perbuatan menyuap
penjaga lembaga pemasyarakatan
Menurut
Robert K. Merton
keadaan
anomi dapat menyebabkan penyimpangansosial. Dikatakan bahwa dalam proses
sosialisasi individu-individu belajar mengenal tujuan-tujuan penting dalam
kebudayaan dan juga mempelajari cara-cara yang dipakai untuk mencapai
tujuan-tujuan budaya tersebut. Anomi terjadi karena adanya ketidakharmonisan antara
tujuan budaya dengan cara-cara untuk mencapai tujuan budaya tersebut. Menurut
Merton, ada lima tipologi tingkah laku individu untuk menghadapi hal tersebut
yaitu konformitas, inovasilitualisme, pengasingan diri, dan pem-berontakan.
E.Upaya Pencegahan dan Pengendalian
Penyimpangan Sosial
Penyimpangan
sosial adalah satu tindakan yang melanggar nilai dan norma social sebagai
akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna yang dijalani individu baik
di lingkungan keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Keberhasilan suatu
proses sosialisasi bagi individu, yaitu dengan ditunjangnya peranan orang dewasa
(orang tua, guru, dan tokoh masyarakat), situasi, media sosialisasi, dan sarana
prasarana penunjang lainnya.
a.
Peranan
Orang Dewasa Orang dewasa yang tidak berhasil dalam
menyediakan akomodasi yang baik untuk kelancaran proses sosalisasi bagi
generasi muda, dapat berpengaruh negative pada pembentukan kepribadian
seseorang, yakni perilaku yang menyimpang dalam interaksi sosial. Seperti
adanya larangan merokok untuk anak atau siswa, akan tetapi yang melarangnya
yaitu orang tua atau guru, setiap harinya merokok, dan tentu saja larangan
tersebut dianggap tidak adil bagi si anak tersebut, sebagai akibatnya larangan tersebut
dilanggarnya. Upaya peranan orang dewasa dalam pencegahan dan pengendalian
penyimpangan dapat dilakukan dengan cara mendidik, mengajak, memberi contoh,
dan bahkan memaksa melalui bentuk teguran, pendidikan, ajaran agama, hukuman.
b.
Peranan
Situasi Lingkungan Situasi lingkungan yang dimaksud adalah
situasi lingkungan keluarga, teman sepermainan, sekolah, lingkungan kerja, dan
media massa. Dalam situasi lingkungan apabila individu tidak memperoleh
kesempatan untuk melakukan proses sosialisasi secara efektif dan tidak
mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan nilai dan norma tersebut, maka
cenderung individu tidak melakukan proses sosialisasi yang tidak sempurna.
Akhirnya mengarahkan ke bentuk perilaku yang menyimpang. Misalnya, seorang anak
yang dikekang dan selalu diberlakukan secara tidak adil maka lambat laun si
anak tersebut akan melakukan tindakan yang negatif terhadap lingkungannya.
c.
Peranan
Kesempatan Sosialisasi Bila individu tersebut cenderung
tidak mempunyai kesempatan dalam melakukan sosialisasi secara sempurna, baik di
keluarga, masyarakat maupun lingkungan sekolah maka individu tersebut akan
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan masyarakat dan lingkungannya.
Misalnya, anak yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali maka ia tidak akan
mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, ataupun nilai-nilai
sosial yang berlaku dalam masyarakat. Proses sosialisasi berjalan tidak
sempurna karena materi informasi dan media sosialisasi yang satu dengan yang
lainnya saling bertentangan, selain itu juga dapat mengakibatkan konflik
pribadi pada diri seorang anak.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Perilaku
menyimpang dalam konteks agama, secara ekstrem perilakunya diberikan stempel
sebagai pendosa atau orang sesat, termasuk ajaran dan faham yang disiarkannya
kepada masyarakat dianggap bertentangan dengan syariat maupun akidah agama
disebut sebagai ajaran sesat. Dalam beberapa bukunya, seperti yang tercamtum di
bawah, Hery Santoso (HS Harding) banyak mengungkapkan contoh kasus yang telah
lama berkembang dan tersembunyi di dalam kehidupan seharihari, terutama tentang
perilakuperilaku yang menyimpang di luar dari batas kelaziman dan social budaya
yang menjadi kesepakatan masyarakat.
Penyimpangan
perilaku yang bersifat individual atau personal (pribadi) dan tidak menggeret
pada seseorang, orang kedua, atau pihak lain di luar dirinya, dapat terjadi
dikarenakan adanya pengaruh dari pengalaman di masa lalunya yang kebanyakan
"kurang menyenangkan", hingga menumbuhkan rasa (sense) semacam
"virus" yang keliru di dalam pandangan (persepsi dan
interpretasi)nya.
C.Saran
Penyimpangan
/permasalahan social yang terjadi di sekitar kita terjadi adanya pengaruah
informasi dan budaya yang di di hubungkan oleh budaya dari kelom[pok maupun
personal.untuk itu demi meyelematkan orang-orang yang kita sayangi dari perbuatan
penyimpangan social. Hendaknya kita lebih aktif untuk menjalin koordinasi dan
mempererat tali silahturohmi.serta
mengutkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.semogqa kita semua termasuk
dari oarng yang selamat dari penyimpangan /masalah social.
DAFTAR
PUSTAKA
Jurnalskripsi.com
Langganan:
Postingan (Atom)